Pendakian Gunung Adeng: Menyatu dengan Alam Bali yang Asri


Pendakian Via Angseri
 
 

    Sebagai gunung tertinggi ke-9 di Bali, Gunung Adeng yang terletak di Kabupaten Tabanan ini menawarkan sensasi pendakian yang berbeda dibanding gunung lainnya di Bali. Vegetasi hutan yang rimbun dan puncak yang full tertutup pohon membuat tidak banyak pendaki yang ingin kesini. Namun, bagi para petualang dengan orientasi 10 Summit Bali tentu belum lengkap rasanya sebelum menapaki kaki di puncak gunung ini. Meskipun memiliki ketinggian hanya 1.826 meter diatas permukaan laut (MDPL) tapi jangan dianggap remeh, gunung yang satu ini cukup membingungkan bagi para pendaki yang kurang berpengalaman. Beberapa kasus pendaki tersesat terjadi tahun 2020 lalu di gunung ini yang membuat Jalur Angseri ditutup waktu itu. 

    Angseri adalah nama desa yang terletak di kaki Gunung Adeng, merupakan salah satu jalur yang cukup banyak dilalui untuk mencapai Puncak Adeng. Jika belum mengetahui jalur ini, temen-temen dapat mencari menggunakan Google Maps dengan search key "Pura Luhur Pucak Adeng". Meskipun namanya Pura Puncak Adeng tapi sebenarnya Pura ini berada di kaki Gunung Adeng bersama Pura Pucak Anyar. Jadi kedua pura ini adalah start point pendakian Gunung Adeng. Parkiran di pura ini cukup luas, teman-teman bisa memarkir kendaraan dengan nyaman disini. Salah satu hal yang khas dari Pendakian via Angseri adalah ratusan anak tangga yang akan dilewati dari parkiran menuju areal pura. Jalur pendakiannya sendiri berada di dalam pura ini. Pura yang pertama dilalui adalah Pura Luhur Pucak Adeng, dari sini kekiri akan terlihat Pura Pucak Anyar disebelah atas. Naik tangga lagi dan setelah berada di dalam areal Pura Pucak Anyar akan terlihat jalur setapak kecil di bagian belakang, inilah jalur yang dilalui untuk menuju ke puncak.

Kondisi Medan dan Jalur Pendakian

    Perlu diingat, gunung Adeng ini berbeda dengan gunung-gunung lain pada umumnya yang memiliki semak-semak rimbun disepanjang sisi jalur. Vegetasi di Gunung Adeng didominasi pohon-pohon tinggi yang dedaunannya begitu rimbun sehingga membentuk seperti kanopi yang menutupi area dibawahnya dari sinar matahari. Oleh sebab itu, semak-semak tidak dapat hidup dibawahnya. Akibatnya jalur pendakian menjadi tidak jelas, karena pada umumnya jalur setapak pendakian nampak jelas bila dikiri dan kanannya terdapat semak-semak yang memagari sepanjang jalur. Tanpa itu, jalur setapak yang sering dilalui tidak akan ada bedanya terlihat dengan area disekitarnya yang bukan jalur pendakian. Hal inilah yang membuat banyak pendaki tersesat disana, karena ada beberapa titik tikungan yang tidak terlihat jelas.

    Maka dari itu sangat penting ketika mendaki gunung ini mengajak orang yang sudah berpengalaman dan tahu betul jalur yang harus dilewati. Sebagian besar kasus orang tersesat di Gunung Adeng terjadi ketika perjalanan turun dan terpisah dari rombongan. Maka dari itu, dapat pula dilakukan pemasangan tanda-tanda (misalnya berupa mengikat kain/pita di pohon) agar ketika turun dapat mudah menemui jalur yang dilewati sebelumnya.

Perizinan

    Terkait keperluan ijin untuk mendaki Gunung Adeng dapat melalui Kepala Desa Setempat. Pada akhir tahun 2020 pendakian ke puncak Gunung Adeng ditutup oleh pihak desa karena terjadi kasus pendaki yang tersesat ketika menuruni gunung. Dan belum ditentukan kapan akan dibuka kembali. Namun tidak ada larangan untuk bersembahyang ke Pura Luhur Pucak Adeng.

Waktu Pendakian

    Dibanding gunung lain diutaranya, jalur pendakian gunung Adeng lebih panjang. Sehingga waktu tempuh pendakian sedikit lebih lama. Rata-rata waktu pendakian gunung ini adalah 4 jam dengan ritme jalan santai.

Letak Geografis

    Secara geografis, Gunung Adeng berbatasan langsung dengan Gunung Pohen disebelah utaranya, Gunung Sanghyang disebelah baratnya, dan di barat dayanya terdapat Gunung Batukaru.


Puncak dan View Pendakian

    Akibat lebatnya hutan digunung ini hingga menutupi puncak menyebabkan hampir tidak ada view terbuka ketika mendaki Gunung Adeng. View yang tersedia hanya rimbunnya pepohonan hutan khas Gunung Adeng dengan suara alamnya yang khas. Satu-satu spot view terbuka hanya ada pada gerbang/Candi Bentar Pura Pucak Anyar ke arah tangga.

    Sepanjang pendakian terdapat 1 post didekat puncak yang menyerupai kondisi puncak itu sendiri. Pendaki yang pertama kali kesini kerap bingung dan mengira ini adalah puncak dari Gunung Adeng, namun dari post ini akan terlihat jalan setapak lagi, untuk menuju Puncak tinggal mengikuti jalan setapak tersebut kurang lebih 10 menit dengan kondisi jalur yang cenderung landai.

    Puncak Gunung Adeng area datar yang tidak terlalu luas dan dikelilingi oleh pepohonan yang begitu lebat, sehingga tidak ada view terbuka di puncak ini.

 




 


 

Selamat Datang di Truecamp Store

Pusat Perlengkapan Camping & Mendaki yang Siap Temani Petualanganmu!

Buat kamu yang suka naik gunung, camping di tepi danau, atau sekadar healing di alam terbuka — kami hadir sebagai solusi perlengkapan outdoor yang lengkap, terjangkau, dan berkualitas. Mulai dari tenda, kompor portable, sleeping bag, carrier, hingga perlengkapan survival, semua ada di sini.

Kami tahu betapa pentingnya gear yang tahan banting dan bisa diandalkan di medan berat. Itulah kenapa semua produk yang kami jual sudah dipilih dan diuji langsung, supaya kamu bisa fokus nikmati perjalanan, tanpa khawatir soal perlengkapan.

📍 Toko offline kami ada di Jl. Suweta, Br.Bentuyung, Ubud, Bali
Langsung datang, cek barangnya, dan rasakan kualitasnya sendiri.

📲 Mau beli online? Gampang!
Langsung hubungi kami via WhatsApp (081999810822), fast response dan siap bantu pilih barang sesuai kebutuhanmu.


💸 Bisa COD & Kirim ke Lokasimu
Kami kirim ke seluruh Bali dan sekitarnya. Ongkir menyesuaikan lokasi, dan bisa bayar di tempat (COD) untuk area tertentu.

Barang Kondisi Baru (Bukan Bekas)


Nggak perlu ribet cari perlengkapan outdoor — tinggal klik WhatsApp, pesan, dan siap jalan!

Klik Whatsapp berikut! 081999810822

Yuk, siap-siap untuk petualangan berikutnya.

Mendaki Gunung: Lebih dari Sekadar Mengejar Puncak

 

 Mengapa Kita Mendaki?

    Mendaki gunung bukan hanya kegiatan fisik yang menantang, tapi juga perjalanan spiritual yang mendalam. Banyak orang memulai perjalanan ini karena ingin menikmati pemandangan dari atas, tetapi semakin lama, mereka menyadari bahwa yang paling berkesan justru adalah prosesnya. Setiap langkah, peluh, dan rasa lelah membawa makna tersendiri.

    Gunung adalah tempat di mana kita bisa menjauh dari hiruk-pikuk kota, dari jadwal yang padat dan kebisingan digital. Di ketinggian, kita bisa kembali terhubung dengan diri sendiri dan alam semesta. Kesunyian dan udara segar yang menyelimuti kawasan pegunungan menjadi daya tarik yang tak bisa ditemukan di tempat lain.

    Mendaki bukan hanya tentang tujuan akhir, tapi tentang menikmati perjalanan itu sendiri. Setiap tanjakan yang terlewati, setiap istirahat di bawah pohon rindang, dan setiap senyum dari sesama pendaki membuat pengalaman ini menjadi kaya dan bermakna. Hal-hal sederhana seperti minum air hangat di tengah kabut bisa jadi sangat istimewa.

    Alam mengajarkan kita banyak hal, termasuk bagaimana menjadi lebih peka, lebih sabar, dan lebih menghargai hidup. Dalam keheningan, kita diajak merenung, melihat ke dalam diri, dan menyadari bahwa hidup bukan sekadar rutinitas.

    Mendaki gunung seringkali menjadi titik balik bagi banyak orang. Di sanalah kita belajar bahwa hidup bisa sederhana, dan kebahagiaan bisa ditemukan dalam hal-hal kecil seperti kebersamaan, udara segar, dan langit berbintang.


Persiapan Fisik dan Mental Sebelum Mendaki

 
Source: Freepik

    Sebelum memulai pendakian, persiapan adalah kunci utama. Mendaki bukan sekadar naik ke atas; ini adalah tantangan yang membutuhkan stamina, kekuatan mental, dan strategi. Tanpa persiapan yang matang, risiko di perjalanan akan meningkat.

    Latihan fisik seperti jogging, bersepeda, dan latihan beban ringan sangat membantu untuk membiasakan tubuh dengan aktivitas berat. Idealnya, latihan dilakukan rutin beberapa minggu sebelum pendakian. Tubuh yang kuat akan membantu kita menaklukkan tanjakan panjang dan medan yang tidak rata.

    Namun, fisik yang kuat saja tidak cukup. Mental yang siap juga sangat penting. Cuaca yang tak menentu, jalur yang menantang, dan rasa lelah bisa menjadi ujian bagi ketahanan mental. Di sinilah kita harus belajar tetap tenang, fokus, dan percaya pada kemampuan diri.

    Salah satu cara menyiapkan mental adalah dengan membaca pengalaman pendaki lain, menonton dokumentasi pendakian, dan memahami bahwa pendakian bisa tidak sesuai rencana. Ketidaksiapan menerima kenyataan di lapangan seringkali membuat pendaki kehilangan semangat.

    Persiapan lainnya adalah mempelajari jalur pendakian, mengetahui titik air, lokasi perkemahan, dan estimasi waktu tempuh. Dengan perencanaan yang baik, kita bisa menghindari kesalahan yang tidak perlu dan lebih menikmati perjalanan.


 
 Peralatan dan Etika Mendaki
 

    Peralatan yang tepat dapat menjadi penentu keselamatan di gunung. Tanpa perlengkapan yang memadai, risiko seperti hipotermia, cedera, atau tersesat bisa meningkat. Oleh karena itu, daftar peralatan harus disusun dengan cermat.

    Beberapa perlengkapan yang wajib dibawa antara lain: sepatu gunung yang nyaman dan memiliki grip baik, jaket tebal tahan angin dan air, tenda, matras, dan sleeping bag untuk tidur, serta alat penerangan seperti headlamp atau senter. Pastikan juga membawa power bank jika menggunakan alat elektronik.

    Jangan lupakan kebutuhan makan dan minum. Peralatan masak ringan, gas portable, serta makanan instan atau tinggi kalori wajib ada di ransel. Selain itu, obat-obatan pribadi dan kotak P3K sangat penting untuk mengantisipasi kondisi darurat di lapangan.

    Etika mendaki adalah bagian penting yang tak boleh diabaikan. Bawa turun semua sampah, jangan merusak tanaman atau mengambil sesuatu dari alam. Hormati sesama pendaki dan patuhi aturan yang berlaku di kawasan tersebut.

Ingatlah bahwa kita adalah tamu di rumah alam. Oleh karena itu, menjaga kelestarian dan kebersihan gunung adalah bentuk tanggung jawab kita sebagai pendaki. Alam yang indah akan tetap lestari jika kita semua peduli.


Momen yang Tak Terlupakan di Gunung

 

    Setiap pendakian punya ceritanya sendiri. Dari yang penuh tawa hingga yang penuh tantangan. Ada momen ketika tubuh sudah tak kuat melangkah, namun semangat dalam hati tetap menyala. Itulah kekuatan pendakian: menguji batas dan memperluas pandangan.

    Kabut yang turun tiba-tiba, hujan yang mengguyur di tengah malam, atau jalur yang tiba-tiba menjadi licin—semua itu menjadi pengalaman tak terlupakan. Dari situ kita belajar banyak hal, mulai dari menghadapi ketidakpastian hingga belajar mengandalkan orang lain.

    Matahari terbit di puncak selalu menjadi hadiah dari semua perjuangan. Warna langit yang perlahan berubah, cahaya yang menyentuh awan, dan udara dingin yang menyapa kulit menghadirkan rasa haru yang sulit diungkapkan. Puncak bukan hanya soal ketinggian, tapi tentang proses yang membawa kita ke sana.

    Kebersamaan dengan tim juga menciptakan kenangan tersendiri. Masak bersama, berbagi makanan, tertawa di tengah dingin malam, hingga tidur berdesakan dalam tenda kecil. Semua itu membentuk ikatan yang kadang lebih kuat dari pertemanan biasa.

    Mendaki mengajarkan kita bahwa momen sederhana bisa menjadi luar biasa ketika kita terbuka terhadap pengalaman. Setiap detik di gunung terasa lebih hidup, lebih bermakna, dan lebih jujur.


Mendaki untuk Hidup, Bukan Sekadar Hidup untuk Mendaki

 

    Mendaki gunung bukan soal gaya hidup, tetapi tentang pengalaman yang membentuk karakter. Kita belajar untuk sabar, bersyukur, dan memahami arti kerja sama. Semua itu tak didapat dari hanya berdiri di puncak, tapi dari setiap langkah kecil yang kita ambil.

    Dalam pendakian, kita belajar menghargai proses. Tidak semua jalur mulus, tidak semua rencana berjalan lancar. Tapi justru di situlah nilai-nilainya: bagaimana kita tetap bergerak meski lelah, tetap tersenyum meski dingin, dan tetap peduli meski dalam keterbatasan.

    Gunung bukan tempat untuk pamer atau menantang diri secara sembrono. Gunung adalah tempat belajar dan berserah. Semakin sering kita mendaki, semakin kita sadar bahwa alam bukan untuk ditaklukkan, melainkan untuk dihormati.

    Banyak orang menemukan diri mereka yang sejati saat berada di gunung. Alam memberikan ruang untuk refleksi, jauh dari kebisingan dan distraksi. Di ketinggian, banyak yang menyadari bahwa bahagia itu sederhana.

    Maka dari itu, mendakilah bukan karena tren atau ego, tapi karena keinginan untuk lebih mengenal diri sendiri, lebih menghargai hidup, dan lebih peduli terhadap alam. Biarlah gunung menjadi guru yang membimbing kita ke arah yang lebih baik.


Keindahan Gunung Lesung yang Belum diketahui Banyak Orang

 

 


Hai Sobat Pendakian, di Bali terdapat beberapa summit yang salah satunya adalah Summit Gunung Lesung, sesuai dengan  namanya Lesung  yang berasal dari Bahasa Bali yaitu Lumpang yang artinya tempat menumbuk bahan makanan. Dinamakan demikian karena bentuk Gunung Lesung yang memiliki kawah bulat dan ditengahnya yang mirip dengan bentuk lumpang. Gunung Lesung termasuk gunung yang sudah tidak aktif dan tergolong gunung purba dan keberdaannya masih alami.  Gunung Lesung terletak di Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng, dengan perjalanan yang ditempuh dari Kota Denpasar sekitar 2,5 Jam. Gunung Lesung memiliki ketinggian 1.885 meter di atas permukaan laut (Mdpl). Walaupun tidak terkenal seperti Gunung Agung dan Gunung Batur, Gunung Lesung pun diminati para pendaki baik pendaki lokal maupun pendaki luar Bali.

Karena lokasi Gunung Lesung dekat dengan danau terindah di Bali yaitu Danau Tamblingan. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam pendakian ke Gunung Lesung adalah waktu mendaki. Waktu yang tepat untuk mendaki ke Gunung Lesung yaitu pada saat musim kemarau, yang berlangsung dari bulan April sampai Oktober, hal tersebut dikarenakan Gunung Lesung ini termasuk dalam iklim torpis. Pada bulan tersebut cuaca cukup bersahabat sehingga pendaki pun nyaman melakukan aktivitas dan menikmati keindahan alam yang diberikan oleh Gunung Lesung. Pemandangan yang diberikan oleh Gunung Lesung pun membuat Gunung Lesung dijuluki “Keindahan Tersembunyi di Bali Utara”.

 

Puncak Gunung Lesung dan 2 Jalur Pendakian


        Puncak dari Gunung Lesung adalah Pura Pucak Anglayang yang berada di puncak bagian sisi utara. Terdapat 2 jalur pendakian untuk mencapai puncak ini. Pertama, jalur Desa Gesing yang merupakan jalur terpendek dengan start pointnya berada di sisi barat daya gunung. Kedua jalur Tamblingan dengan start pointnya adalah dari Danau Tamblingan, jalur ini lebih panjang dan berada disisi utara gunung. Di Gunung ini juga terdapat goa yang bernama Goa Nagaloka, dimana untuk mencapai goa ini sebaiknya melalui Jalur Gesing.


Jalur Gesing

Jalur ini melalui Desa Gesing yang mana untuk mencapai tempat ini akan melalui jalan beton yang agak rusak sepanjang beberapa ratus meter, kemudian belok ke kanan melalui jalan tanah hingga mencapai tikungan yang terdapat rumah joglo dengan tumpukan pasir dan batu. Kendaraan dapat diparkir di sekitar ini atau dekat depan start point.

Start pointnya sendiri berada tepat di utara dari areal rumah joglo tersebut, tepat di sisi kiri (timur jalan). Akan terlihat jalan setapak masuk ke dalam hutan, inilah start point pendakian jalur Gesing. Dan tidak ada plang atau tulisan yang menandai start point ini.

Kondisi Jalur Pendakian

 


                                                                        

 

Dari start point, beberapa meter masuk ke dalam terdapat pertigaan, pilih ke kiri. Lalu kemudian berjalan sekitar 10 menit akan terdapat pertigaan dan pilih ke kanan. Pada titik ini, jalan ke kanan ini tidak terlihat karena tertutup semak. Sedangkan di kirinya terdapat jalan ke kiri namun terlihat buntu. Pada titik ini pendaki yang tidak mengetahui jalur pasti akan berjalan lurus, dari sinilah sering pendaki salah jalur ketika mendaki Gunung Lesung via Gesing. Jika lurus akan terus terlihat pipa air di sisi kanan bawah dan jalurnya berada dilerengan dengan jurang di sisi kiri. Jadi, bila kamu terlanjur mengikuti jalur pipa ini harap balik dan akan terlihat jelas jalan setapak naik kekiri (dari arah balik).

Kemudian jalan akan berupa tanjakan yang lamanya kira-kira 1 jam perjalanan hingga menemukan pertigaan lagi. Di pertigaan ini arah ke puncak adalah ke kiri, sedangkan kanan adalah arah ke Goa Nagaloka. Setelah mengikuti jalur kekiri, akan mencapai puncak sisi selatan dari Gunung Lesung. Jadi pada titik ini pendakian akan melalui jalur landai menuju puncak sisi utara untuk mencapai Pura Puncak Anglayang. Kurang lebih waktu dalam jalur yang landai ini adalah 1 jam perjalanan. Pada sisi kanan jalur ini akan terlihat kawah dari Gunung Lesung yang sudah mati dan dipenuhi rumput dan pepohonan. Sedangkan di sisi kiri umumnya lebat tertutup pepohonan, namun ada 2 spot yang sedikit terbuka sehingga terlihat view pegunungan di kawasan Negara, Buleleng dan Gunung-Gunung di Jawa Timur. Di titik inilah spot view terbaik di Gunung Lesung, karena pada Pura Puncak Anglayang hampir tidak terlihat view karena tertutup semak dan pepohonan.


Jadi, bila ditotal pendakian Gunung Lesung kurang lebih membutuhkan waktu 2 jam dengan ritme jalan yang santai.


Kondisi Puncak



    
    Areal puncaknya ini terdiri dari areal dalam Pura dan areal luar yang tidak luas. Jadi hampir tidak memungkinkan untuk camp di Gunung Lesung ini. Disekelilingnya dipenuhi pepohonan dan semak sehingga tidak terlihat view dari tempat ini. Maka dari itu mendaki dengan sistem tektok adalah pilihan yang paling sering dilakukan oleh para pendaki. Karena setelah sampai puncak, beristirahat sebentar lalu kembali turun.